Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) adalah izin usaha yang diberikan untuk mengusahakan kegiatan pariwisata alam di areal suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.
Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.36/2010 dan Peraturan Menteri Kehutanan No.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, serta Peraturan Menteri Kehutanan No.4/Menhhut-II/2012 tentang perubahan atas peraturan Menteri Kehutanan Nomor 48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
IPPA dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
1. Ijin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA)
IUPJWA adalah ijin usaha yang diberikan untuk penyediaan jasa wisata alam pada kegiatan pariwisata alam.
a. Usaha jasa informasi pariwisata
b. Jasa pramuwisata
c.Usaha jasa transportasi
d. Usaha jasa perjalanan wisata
e. Usaha jasa cinderamata
f. Usaha jasamakanandanminuman
IUPJWA dapat diajukan oleh:
a. Perorangan (jangka waktu usaha 2 tahun dan dapat diperpanjang)
b. BUMN/BUMD/BUMS atau Koperasi (jangka waktu usaha 5 tahun dan dapat diperpanjang)
*Gambar Bagan alur permohonan IUPJWA
2. Ijin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA)
IUPSWA adalah ijin usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana serta pelayanannya yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata alam.
IUPSWA terdiri dari :
a. Usaha sarana wisata tirta
b. Usaha sarana akomodasi
c. Usaha sarana transportasi
d. Usaha sarana wisata petualangan
e. Usaha sarana olah raga minat khusus
IUPSWA diberikan untuk jangka waktu 55 tahun, dan dapat diajukan oleh :
a. BUMN/BUMD/BUMS;
b. Koperasi.
Proses perijinan Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.1/2015 tentang Perubahan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.97/Menhut-II/2014 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perijinan dan Non Perijinan di Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.Peraturan Menteri tersebut ditindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.P.7/2015 tentang Petunjuk Teknis Pemberian Perizinan dan Non Perizinan diBidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
*Gambar Bagan Alur Permohonan IUPSWA
*Gambar Bagan Proses Permohonan IUPSWA
Adapun data mengenai Pemengang Perijinan Pengusahaan Sarana Pariwisata Alam yang ada pada Balai KSDA Bali sampai dengan saat ini terdapat 1 (satu) Perusahaannya itu PT. Nusa Bali Abadi yang terdapat di lokasi Kawasan TWA. Danau Buyan Tamblingan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Nomor SK.Menhut 283/Menhut-II/2007 16 Agustus 2007.
PENGERTIAN
Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah.
FUNGSI LEMBAGA KONSERVASI
Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama pengembangbiakan terkontrol dan/atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya Serta berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan, penitipan sementara, sumber indukan dan cadangan genetic untuk mendukung populasi in-situ, sarana rekreasi yang sehat serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
BENTUK LEMBAGA KONSERVASI
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.31/Menhut-II/2012 tanggal 24 Juli 2012 tentang Lembaga Konservasi. Lembaga Konservasi dikelompokkan menjadi dua meliputi :
A. Lembaga Konservasi untuk Kepentingan Khusus
B. LembagaKonservasi untuk Kepentingan Umum
PROSEDUR
Permohonan izin lembaga konservasi diajukan pemohon kepada Menteri dengan tembusan disampaikan kepada :
PERSYARATAN
Persyaratan Administrasi:
Ketentuan tentang Lembaga Konservasi diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.31/Menhut-II/2012 tanggal 24 Juli 2012 tentang Lembaga Konservasi.
FLOWCHART
Prosedur Permohonan Izin Lembaga Konservasi
PENGERTIAN
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.19/Menhut-II/2005 tanggal 19 Juli 2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Penangkaran tumbuhan dan satwa liar berbentuk :
TUJUAN PENANGKARAN
Tujuan penangkaran adalah untuk :
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pengaturan penangkaran tumbuhan dan satwa liar mencakup ketentuan-ketentuan mengenai kegiatan penangkaran, administrasi penangkaran dan pengendalian pemanfaatan hasil penangkaran tumbuhan dan satwa liar baik jenis yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi, kecuali jenis :
PENGADAAN INDUK DAN LEGALITAS ASAL INDUK
Induk satwa untuk keperluan penangkaran, dapat diperoleh dari :
Pengadaan induk penangkaran :
Induk penangkaran tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi yang berasal dari habitat alam (W) dinyatakan sebagai milik negara dan merupakan titipan negara. Induk penangkaran satwa liar generasi pertama (F1) hasil penangkaran jenis satwa liar yang dilindungi dinyatakan sebagai milik negara dan merupakan titipan negara. Spesimen induk satwa liar yang dilindungi yang berasal dari habitat alam, dan atau hasil penangkaran generasi pertama (F1) satwa liar yang dilindungi, tidak dapat diperjual belikan dan wajib diserahkan kepada negara apabila sewaktu-waktu diperlukan.
PELAKSANAAN PENANGKARAN
Dalam rangka menjamin kemudahan kontrol hasil penangkaran, maka setiap anakan harus dipisahkan dari induk-induknya. Pemisahan anakan dari induk harus dapat dilakukan untuk membedakan antar generasi dimana generasi pertama (F1) harus dapat dibedakan dengan generasi-generasi berikutnya. Dalam rangka menjaga kemurnian jenis satwa liar, unit penangkaran dilarang melakukan pengembangbiakan silang (hibrida) baik antar jenis maupun antar anak jenis, bagi jenis-jenis yang dilindungi yang bersasal dari habitat alam. Hal ini dikecualikan untuk mendukung pengembangan budidaya peternakan atau perikanan. Untuk menjaga keanekaragaman genetic jenis satwa, penangkaran satwa dilakukan dengan jumlah paling sedikit dua pasang atau bagi jenis-jenis satwa yang poligamous minimal dua ekor jantan. Dan dilakukan dengan menghindari penggunaan induk-induk satwa yang mempunyai hubungan kerabat atau pasangan yang berasal dari satu garis keturunan.
PENANDAAN DAN SERTIFIKASI
Pelaksana penangkaran wajib melakukan penandaan dan sertifikasi terhadap indukan maupun hasil penangkarannya. Penandaan pada hasil penangkaran merupakan pemberian tanda yang bersifat permanen pada bagian tumbuhan maupun satwa dengan menggunakan teknik tagging/banding, cap (marking), transponder, pemotongan bagian tubuh, tattoo dan label yang mempunyai kode berupa nomor, huruf atau gabungan nomor dan huruf. Penandaan bertujuan untuk membedakan antara induk dengan induk lainnya, antara induk dengan anakan dan antara anakan dengan anakan lainnya serta antara spesimen hasil penangkaran dengan spesimen dari alam. Untuk memudahkan penelusuran asal usul (tracking) spesimen tumbuhan atau satwa, penandaan dilengkapi dengan sertifikat. Bagi jenis-jenis yang karena sifat fisiknya tidak memungkinkan untuk diberitanda hanya dilakukan pemberian sertifikat. Dalam rangka perdagangan luar negeri, unit penangkaran jenis-jenis Appendix I CITES, yang dilakukan melalui kegiatan pengembangbiakan satwa di dalam lingkungan terkontrol (captive breeding) dan perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam kondisi terkontrol (artificial propagation), wajib deregister pada sekretariat CITES. Registrasi hanya dapat diajukan oleh unit penangkaran yang telah memenuhi standar kualifikasi penangkaran.
Ketentuan tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.19/Menhut-II/2005tanggal 19 Juli 2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Berikut Daftar Penangkar TSL Mitra Balai KSDA Bali :
(*kosong)