Butuh Bantuan? Chat kami

Detail Artikel

TRI HITA KARANA sebagai Landasan Pengelolaan Konservasi di TWA Sangeh

Hutan di Bali selalu memiliki banyak cerita, budaya dan kehidupan, salah satunya seperti Taman Wisata Alam Sangeh. Kawasan hutan pala seluas 13,91 hektar ini berdiri dengan kokoh di Desa Adat Sangeh, Kabupaten Badung, Yang telah ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan Nomor SK.203/Menhut-II/2014. dengan usiaya yang panjang, dan pohon pala yang menjulang tinggi, satwa beruk (MEP) yang banyak dan juga terdapat pura peninggalan kerajaan Mengwi abad ke-17.

Yang mana bagi masyarakat Adat Sangeh bukan sekedar tempat Wisata Melainkan Ruang Sakral Yang Dijaga Sebagai Warisan Leluhur. Dibalik Kesakralan itu, maka diterapkanlah falsafah “Tri Hita Karana” yang menjadi landasan masyarakat adat sangeh dalam mengelola TWA Sangeh Tersebut, yang mana berarti Harmoni Dengan Tuhan, Harmoni dengan sesama manusia, dan Harmoni Bersama Alam.

PARAHYANGAN

Hubungan dengan TUHAN

Di tengah hutan Sangeh berdiri Pura Bukit Sari, pura besar yang sejak abad ke-17 menjadi pusat spiritual warga. Bersama lebih dari 30 pura kecil lainnya, Pura Bukit Sari menjadi bukti eratnya hubungan antara alam dan agama. Upacara rutin seperti Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya digelar di pura ini, disertai kesenian tradisional seperti tari, gamelan, dan kekawin.

Keberadaan pura di tengah hutan juga membuat hutan pala—atau disebut warga sebagai alas phala— menjadi suci. Tidak ada warga berani sembarangan menebang pohon, apalagi merusaknya.

PAWONGAN

Hubungan dengan Sesama

Seperti dikutip dari website Pemerintah Kabupaten Badung, Desa Adat Sangeh memiliki luas 450 hektare. Desa dengan populasi 4.367 jiwa atau sekitar 3.000 kepala keluarga per 31 Desember 2020 itu merupakan daerah tujuan wisata utama di Badung.

Desa Adat Sangeh hidup berdampingan dengan hutan. Warga dilibatkan aktif dalam pengelolaan kawasan: ada yang menjadi pecalang, pemandu wisata, penjaga tiket, hingga petugas kebersihan.

Yang menarik, kegiatan menjaga hutan tidak berhenti pada jam kerja. Warga dengan penuh kesadaran datang sejak pukul 04.00 pagi untuk membersihkan jalan dan area hutan, sebuah tradisi yang jarang ditemukan di daerah lain.

 

“Untuk menjaga kebersihan hutan ini, warga kami sudah bangun dari sebelum matahari terbit. Itu bagian dari tanggung jawab dan kebanggaan kami sebagai masyarakat adat” Kata Bendesa Adat Pak Bagus.

 

PALEMAHAN

Hubungan dengan ALAM

Palemahan, terwujud paling nyata di Sangeh. Aturan adat atau awig-awig melarang keras warga menebang pohon atau melukai satwa. Mereka hanya boleh mengambil ranting, daun, atau buah pala yang jatuh ke tanah.

Menurut Website Portal Informasi Indonesia, Hutan Sangeh dipenuhi sekitar 400 pohon pala berumur 200–400 tahun, dengan diameter mencapai 1,5–2 meter. Di sela-sela pohon, hidup flora lain seperti beringin, mahoni, pule, dan juwet. Secara ekologis, hutan ini juga berperan sebagai daerah resapan air dengan suhu sejuk 23–25 °C.

 

Selain sekitar 600 ekor kera ekor panjang (Macaca fascicularis) yang terbagi dalam tiga kelompok besar, ada pula musang, jalak putih endemik Bali, elang bondol, kepodang, dan tekukur. Uniknya, kera diperlakukan sebagai warga hutan yang dihormati.

 

Popularitas TWA Sangeh sebagai salah satu objek wisata tertua di Bali membuat jumlah wisatawan terus meningkat. Tekanan dari pariwisata massal membawa risiko sampah, perubahan perilaku kera, hingga potensi gesekan kepentingan ekonomi.

 

Selain itu, generasi muda Sangeh kini menghadapi godaan modernisasi. Tidak mudah mempertahankan rasa kepemilikan yang kuat atas hutan di tengah perubahan gaya hidup. Karena itu, peran BKSDA Bali bersama masyarakat adat menjadi penting untuk merancang pengelolaan berbasis edukasi dan ekowisata yang berkelanjutan.

 

Di tengah pohon pala berusia ratusan tahun, kera yang bergelantungan, dan pura yang masih ramai dipakai sembahyang, kita melihat harmoni itu nyata: hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan